Selain mengirim buletin Holistik, kami baru saja selesai dengan proses pendistribusian buku bahan Pemahaman Alkitab (PA) kepada gereja-gereja anggota P3H di 6 sinode. Jumlah buku yang dikemas dalam dus-dus itu adalah 3000 buah dan tertumpuk di gudang kantor P3H selama beberapa bulan. Mengingat proses penggarapannya sudah memakan waktu lama, maka kami bertekad pengirimannya tidak dapat ditunda-tunda lagi. Maka setelah mendata alamat para pendeta (pemimpin PA) di gereja-gereja anggota P3H dan menyiapkan perlengkapan teknis lainnya, kami segera mengemasnya satu per satu dan mengirimkannya. Tentu saja proses ini pun lumayan memakan waktu, kira-kira 2 bulan penuh! Sebanyak kurang lebih 90 dus masing-masing berisi 20 buku selesai dipaketkan ke 4 sinode di luar Jawa, sedangkan selebihnya hampir 400 buku dikirimkan per orangan di wilayah sinode di Jawa.
Meskipun menguras keringat, namun selesainya pendistribusian ini melegakan hati, setidaknya hal ini kami rasakan setelah mendapat respon dari beberapa gereja yang menyatakan
keinginannya untuk dikirimi lagi. Waduh, tentu permintaan seperti ini harus kami bicarakan ulang, karena untuk saat ini jumlah yang dicetak sangat terbatas dan secara teknis untuk jumlah besar kami harus mengatur ulang urusan cetak dan distribusinya. Namun demikian, kami tetap menantikan komentar terhadap buku Bahan PA ini setelah diujicobakan kepada jemaat (kelompok PA) yang dipimpin. Ini akan menjadi masukan yang berharga bila nantinya dianggap perlu untuk menerbitkan seri berikutnya.
Selain cerita melegakan tersebut, ada juga kisah sedih di balik proses pengiriman bahan PA. Ternyata ada beberapa paket yang kembali ke kantor P3H. Masing-masing dengan keterangan yang berbeda-beda, umumnya mereka sudah berpindah alamat. Sayang sekali, kami kehilangan jejak alias kesulitan melacaknya karena per orangan bukan gereja. Oleh karenanya kami mohon kerjasama para pembaca buletin Holistik yang budiman, untuk memberitahukan kepada redaktur mengenai perubahan alamat Anda supaya Holistik atau kiriman dari P3H tetap sampai di tangan Anda.
Oya, P3H tahun depan akan berusia 4 tahun! Lalu? Meskipun P3H tidak pernah rewel minta dirayakan ultahnya seperti seorang anak kecil tapi alangkah bahagianya P3H bila ultah ke-4 nanti dirayakan. Tidak usah pakai pesta, P3H hanya ingin kado sederhana. Yakni sebuah karya tulisan dari pembaca tentang Pelayanan Holistik. Dilombakan lho, selengkapnya baca saja dalam buletin ini.
Akhirnya, kami mengucapkan selamat membaca Holistik edisi 8!
AKTIVITAS KITA
1. Lokakarya Kemitraan GKS – Protestanse Kerk in Nederland
Pada tanggal 12-14 Juli 2004, telah berlangsung acara lokakarya kemitraan antara Gereja Kristen Sumba (GKS) dan Global Ministry/Kerkinactie Protestanse Kerk In Nederland (GM/PKN). Acara selama tiga hari itu digelar di kantor sinode GKS, Sumba Timur dan diikuti oleh lebih dari 30 peserta yang secara pribadi maupun lembaga ikut terlibat secara langsung dalam pelayanan GKS selama ini. Pertemuan ini diadakan dilatarbelakangi oleh kemunculan perubahan di kedua pihak. Perkembangan di Indonesia akhir-akhir ini membuat berbagai perubahan baik pada tingkat nasional maupun lokal. Perubahan ini juga terjadi di Sumba. Selain itu dalam kehidupan bergereja juga terjadi berbagai perubahan, sehingga perlu direspons dengan baik agar kehidupan bergereja dapat berjalan dengan baik. Sedangkan penyatuan GKN dengan gereja lainnya yang menghasilkan Protestantse Kerk adalah suatu perubahan yang besar dan mendasar. Dengan penyatuan ini pada dasarnya GKN sudah tidak ada lagi. Ini berarti mitra utama GKS adalah sebuah lembaga yang “baru” dan berbeda dari GKN. Untuk itulah perlu pemikiran ulang mengenai bentuk kemitraan seperti apa yang sesuai agar misi kedua gereja (GKS dan PKN) dapat dilaksanakan dengan baik.
Sebagai narasumber dari GKS dihadirkan Pdt. David Umbu Dingu (Sekum GKS), Pdt. A.A Djewanggoe (PGI) dan dari Belanda hadir Klaas Aikes (Program Officer Desk Asia Pasific Kerkinakctie), Pdt. Luinstra dan Ibu (keduanya pernah melayani jemaat GKS pada tahun 1981-1998). Para narasumber mengulas beberapa hal seperti kondisi terkini di antara kedua pihak serta pengalaman dan pengamatan tentang hubungan kerjasama keduanya. Pertemuan menghasilkan konsensus baru tentang kerjasama antara GKS dan PKN/GM khususnya dalam 3 hal penting yakni visi dan misi kemitraan, pemberdayaan ekonomi dan keuangan, pertumbuhan gereja dalam pembentukan civil society di tengah masyarakat plural. Dengan hasil tersebut, diharapkan tertata kemitraan yang responsif terhadap perubahan dan tantangan yang terjadi.
Dalam rangka mengembangan kapasitas dan profesionalisme pelayanan gereja, P3H/CRWRC diminta bantuannya oleh Kerkinactie di Belanda untuk memfasilitasi capacity building bagi 12 sinode di Sulawesi Utara dan Tengah (Sulutteng). Rencananya pelatihan ini akan diadakan di enam tempat di wilayah Sulutteng pada bulan November dan Desember 2004. Untuk mempersiapkan pelatihan tersebut, P3H/CRWRC bekerjasama dengan Sinode Am Gereja-gereja (SAG) Sulutteng dan Kerkinactie mengadakan “Training of Trainers”(ToT) bagi Pengurus Harian (PH) SAG di hotel Dhyana Pura, Bali pada tanggal 11-15 Agustus 2004.
Pelatihan ini diikuti oleh 7 orang dari SAG yang nantinya akan menjadi fasilitator dalam pelatihan bagi 12 sinode.
Ikut serta pula dalam ToT ini Ibu Lin Tjeng (Kerkinactie), Simon dan Lies Langbroek (Volunteer/Belanda). Materi pelatihan yang diberikan meliputi 3 hal yakni pembangunan kapasitas (capacity building), sistem keuangan berbasis Quickbooks serta pengenalan terhadap Internet dan e-mail. Bertindak sebagai failitator dari P3H/CRWRC adalah Iskandar Saher, Monika Rum Mahanani dan Dewi Yuliyanti. Selain melatihkan ketiga materi utama di atas, ToT juga dimanfaatkan sebagai ajang revisi, sehingga masukan-masukan terhadap materi akan memberi kontribusi pada perbaikannya, di samping memperhatikan faktor kondisi riil yang ada di sana. Dengan demikian, materi pelatihan nantinya betul-betul berangkat dari kebutuhan dan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya.. Meskipun jadwal padat, namun acara berlangsung lancar dan penuh keakraban.
3. Rencana Pelatihan Penanggulangan Bencana
Dalam pertemuan Kespel P3H Mei lalu, salah satu pokok yang ikut disepakati adalah pentingnya meningkatkan kapasitas gereja khususnya dalam merespons bencana. Menindaklanjuti kesepakatan bersama tersebut P3H berencana mengadakan sebuah pelatihan penanggulangan bencana. Pelatihan dianggap penting sebagai sarana memperdalam kemampuan dan keterampilan dalam penanggulangan bencana. P3H akan bekerjasama dengan CRWRC untuk mendatangkan narasumber Jacob Kramer, dari Canadian Food Grain Bank (CFGB), sebuah bank pangan yang berkantor pusat di Kanada. CFGB mengkhususkan pelayanannya di bidang pengadaan pangan (Food Security). Pelatihan ini direncanakan akan diadakan awal November 2004 dan akan diikuti oleh utusan dari 6 sinode anggota P3H masing-masing 2 orang. Mohon dukungan doa agar rencana ini dapat terwujud.
5.“Rumah Baru Kita Indonesia” Dari Desk PKB
Setelah agak lama tak terdengar kabarnya, baru-baru ini Desk Pembangunan Kehidupan Bergereja (Desk PKB) selesai mencetak buku berjudul “Rumah Baru Kita, Indonesia”. Buku ini merupakan seri I dari serangkaian seri Pendidikan Kewarganegaraan yang disiapkan Desk PKB bagi para pemimpin dan fungsionaris gereja-gereja khususnya anggota P3H –sebagai kelompok yang ikut serta dalam awal kelahiran desk yang diluncurkan Desember 2003 lalu. Buku ini berisi penjelasan mengenai lembaga-lembaga negara setelah beberapa kali terjadi amandemen terhadap UUD’45. Ini disajikan untuk mengetahui perubahan-perubahan di dalam lembaga-lembaga tersebut. Diharapkan buku yang sudah dikirimkan kepada 6 sinode anggota P3H ini dapat menambah wawasan para pemimpin/fungsionaris gereja maupun lembaga keagamaan umumnya, baik dalam rangka menjalankan peran politiknya maupun dalam rangka pendidikan kewarganegaraan bagi warga dan masyarakat umumnya.
6. Pelatihan Renstra Di GKJ Cepu
Pada tanggal 8 September, Gereja Kristen Jawa (GKJ) Cepu mengadakan acara pelatihan Perencanaan Strategis (Renstra). P3H bertindak selaku fasilitator. Pelatihan ini diikuti oleh sekitar 25 orang, terdiri dari anggota komisi dan majelis GKJ Cepu. Materi yang disampaikan meliputi Visi dan Misi; Analisis SWOT; Penentuan Prioritas dan Strategi. Biasanya materi renstra secara lengkap membutuhkan waktu 2-3 hari untuk dilatihkan, namun karena waktu yang tersedia hanya 1 hari, maka 3 materi itulah yang dapat disampaikan secara ringkas. Ini adalah kesempatan kedua bagi P3H setelah sebelumnya pernah memfasilitasi seminar dalam rangka ulang tahun GKJ Cepu ke-50. Diharapkan melalui pelatihan ini, para anggota majelis dan jemaat khususnya dapat mengetahui dan ikut serta dalam proses pembuatan visi/misi dan strategi yang biasanya hanya dilakukan pada tingkat elite gereja. Setelah mengetahui arah pelayanan gereja, maka setiap program yang dilahirkan dan dilaksanakan benar-benar muncul dari perencanaan yang berasal dari jemaat untuk mewujudkan visi dan misi yang sudah dibuat secara bersama-sama.
-----------------------------------------------
ARTIKEL LEPAS
Gereja & Restoran
oleh : Iskandar Saher
Pada bagian pertama dari tulisan ini, penulis memaparkan adanya titik kesamaan antara Gereja dan Restoran. Meskipun keduanya tidak berhubungan secara langsung namun sama-sama menawarkan sesuatu untuk “dibeli” atau dinikmati. Agar banyak diminati, keduanya perlu memiliki kapasitas yang mendukung. Keduanya juga perlu membidik selera pasarnya. Tulisan bagian kedua kali ini akan mengulas bagaimana gereja -layaknya sebuah restoran jeli terhadap apa yang ditawarkannya.
Gereja sebagai Restoran
Kelemahan utama gereja-gereja kita adalah tidak tahu persis apa yang ditawarkan. Kalau kita katakan kita menawarkan keselamatan, keselamatan yang seperti apa? Ketidaktahuan terhadap apa yang kita tawarkan ini membuat kita juga sulit menentukan kapasitas apa yang perlu dibangun. Seandainya gereja adalah sebuah warung makan, mungkin yang ditawarkan mie rebus yang disajikan seadanya di tempat seadanya dan dengan pelayan yang sekedarnya. Pembeli tentu saja bosan dan berpindah ke warung lain yang menunya lebih bervariasi, pelayanan baik, suasana ruangan nyaman.
Konsekuensi berikutnya dari ketidaktahuan ini adalah perencanaan gereja yang tidak terarah. Katakanlah kita ingin merencanakan studi lanjut (S2 & S3) untuk para pendeta. Pertanyaan pertama adalah dengan tawaran pelayanan yang kita tawarkan, perlu tidak pendeta bergelar S2 dan S3; atau cukup dengan pendidikan pendek non gelar untuk berkhotbah atau mengajar Sekolah Minggu atau mengajar katekisasi sebagai tambahan terhadap pendidikan S1nya.
Pertanyaan berikutnya, kalau perlu S2 dan S3 bidang apa dan berapa banyak untuk setiap bidang. Kalau dia sudah selesai dengan S2 dan S3 akan ditempatkan di mana? Pertanyaan-pertanyaan ini penting agar kita betul-betul membangun kapasitas lembaga sesuai dengan apa yang kita tawarkan. Jangan sampai kita membuka restoran, tapi karyawan kita disekolahkan untuk mendapat S2 dalam bidang teknik mesin, padahal di restoran tidak ada mesin dan tidak menawarkan service perbaikan mobil.
Dengan demikian pembangunan kapasitas lembaga ini diperlukan agar lembaga dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Jika lembaga mempunyai kapasitas yang baik maka pelayanan yang didapatkan oleh anggota jemaat dan masyarakat sesuai dengan apa yang kita tawarkan. Pada pihak lain, dengan kapasitas yang baik dana yang masuk juga diharapkan akan baik
Kapasitas Gereja dan Sumber DanaSumber dana masih tetap menjadi pergumulan banyak gereja, khususnya gereja-gereja kecil. Oleh sebab itu walaupun pada umumnya gereja-gereja di Indonesia secara struktural sudah mandiri dari lembaga Zendingnya, tapi masih ada yang tergantung secara teologis (ini tidak akan dibahas) dan secara finansial. Sementara itu, sumber dana dari lembaga zending atau gereja mitra di luar negeri semakin kecil, karena uang yang masuk ke zending dan gereja mitra di luar negeri semakin kecil. Sementara dari dalam jemaat dana yang masuk juga tidak cukup.
Tidak ada data yang cukup representatif tentang berapa rata-rata persembahan anggota jemaat dewasa setiap minggunya. Diduga rata-rata dana ini kurang dari Rp. 1.000 perminggu perjemaat dewasa. Bandingkanlah ini dengan berapa bungkus rokok yang dikonsumsi anggota jemaat dewasa (khususnya laki-laki) perminggu. Katakanlah seorang laki-laki (karena umumnya laki-laki yang merokok, minimal di depan umum) merokok setengah bungkus perhari. Ini berarti seminggu mengkonsumsi 3½ bungkus rokok. Seandainya sebungkus rokok berharga Rp. 5.000,- itu berarti Rp. 17.500 perminggu dibelanjakan hanya untuk rokok. Hitung-hitungan ini sangat kasar dan bisa salah. Ini hanya untuk menggambarkan bahwa sebetulnya jemaat kita tidak miskin, sehingga untuk memberikan Rp. 1.000,- per minggu perjemaat dewasa tidaklah menjadi keberatan. Ini berarti potensi keuangan di jemaat cukup besar, tinggal bagaimana uang itu dipersembahkan oleh jemaat.
Ada cukup banyak gereja yang gagal memobilisasi persembahan jemaat, sehingga kekurangan dana dalam pelaksanaan kegiatan. Tudingan terhadap kegagalan mobilisasi persembahan ini pada umumnya pada tingkat kesadaran memberi jemaat yang rendah. Tudingan ini benar, tapi kalau begitu ini juga berarti kegagalan institusi gereja dalam mendidik anggota jemaatnya dalam kesadaran mempersembahkan. Masalah ini kalau diperdebatkan akan panjang. Hal lain yang ingin saya katakan di sini adalah ada cukup banyak dana yang gagal dimobilisasi oleh gereja, dan ada cukup banyak anggota jemaat yang kesadaran memberinya tinggi, bahkan sampai pada tingkat sadar memberi secara kritis, persembahan yang besar. Kelompok kedua ini biasanya berpendidikan baik dan secara ekonomi di atas rata-rata. Saya menamakan kelompok ini sebagai kelompok “sadar memberi.”
Kelompok “sadar memberi” ini tidak lagi melihat memasukkan uang ke kantong/kotak persembahan sebagai mempersembahkan untuk Tuhan titik. Mereka melihat ini mempersembahkan untuk Tuhan, tapi disalurkan melalui gereja. Mereka ini mengkritisi bagaimana uang untuk Tuhan itu dikelola dan dimanfaatkan oleh gereja. Kelompok ini tidak akan memberikan persembahan kepada gereja jika uang persembahannya dipakai untuk hal-hal yang tidak sesuai, apalagi dikorupsi (ada ya?). Mereka mengatakan “kalau kita masih memberi persembahan untuk sesuatu yang kita tahu akan dipergunakan dengan tidak benar sama saja kita berbuat dosa.” Dari pengalaman sehari-hari juga kita bisa mengamati, kalau satu jemaat ingin membangun gedung gereja, biasanya persembahan yang masuk jauh lebih besar (walaupun kadang masih tetap kurang) dari persembahan rutin. Persembahan untuk pembangunan gereja ini masuk dengan cukup besar karena jemaat menganggap bahwa penggunaan uangnya jelas dan gedungnya perlu. Sedangkan untuk persembahan sehari-hari kadang-kadang penggunaannya tidak jelas atau sering digunakan untuk sesuatu yang tidak benar-benar perlu.
Jika kita melihat hubungan kapasitas gereja dengan sumber dana dari luar (baik luar negeri maupun dalam negeri) isue utamanya adalah kepercayaan kepada lembaga gereja. Kepercayaan ini menyangkut dua hal, yaitu kepercayaan bahwa dana akan dimanfaatkan dengan baik (tidak diselewengkan) dan kepercayaan bahwa lembaga gereja mempunyai kapasitas untuk melakukan kegiatan itu.
Apakah dana akan dimanfaatkan dengan baik atau tidak, agak sulit dibuat generalisasinya. Ada gereja yang punya laporan penggunaan keuangan dengan sangat baik dan dapat dipercaya, tetapi ada juga yang administrasi dan pengelolaan keuangannya kurang baik. Ada gereja yang dananya dimanfaatkan dengan baik, tetapi tidak dilaporkan dengan baik karena administrasi keuangannya kurang baik. Sebaliknya ada yang laporannya dan bukti pengeluaran dibuat dengan baik, tetapi itu hanya laporan di atas kertas, yang kalau dicek di lapangan tidak ada bekas kegiatannya. Hanya gereja yang bersangkutan, dan Tuhan, yang tahu bagaimana dana gereja dimanfaatkan.
Mengenai kepercayaan sumber dana dari luar (mitra atau lembaga donor) kelihatannya agak kurang baik. Indikator yang terlihat adalah kesulitan gereja mendapatkan dana dari luar untuk kegiatan yang akan dilakukannya, sementara lembaga lain (seperti LSM) bisa mendapatkan dana yang besar untuk melakukan kegiatan yang sama dengan yang akan dilakukan oleh gereja. Ini adalah salah satu indikator penting bahwa kepercayaan lembaga donor pada gereja kurang. Ambillah contoh untuk kegiatan penanggulangan bencana. Dana untuk ini cukup banyak tersedia, tetapi pada saat gereja ingin mencari dana untuk kegiatan ini sulit mendapatkannya, kalaupun dapat hanya kecil. Salah satu sebab adalah bahwa gereja kurang dipercayai bahwa dia mampu melakukan kegiatan seperti ini.
Kekurangmampuan ini bisa kurang mampu menyiapkan proposal dan laporan yang baik, atau tidak tahu akses ke sumber dana. Seandainya gereja dinilai mampu oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan seperti ini, maka dana akan mengalir dengan deras.
Salah satu contoh adalah Bala Keselamatan di Amerika Utara. Lembaga ini (di Indonesia dikenal sebagai gereja) sangat dipercayai oleh lembaga dan masyarakat sebagai lembaga terpercaya menyalurkan bantuan kemanusiaan di saat bencana. Karena itu kadang-kadang mereka tidak perlu menulis proposal dan mencari dana, karena bantuan akan datang dengan sendirinya begitu mereka ingin melakukan aksi bantuan bencana.
Membangun kepercayaan dari luar (dan juga dari jemaat) terhadap gereja juga penting dalam rangka mendapatkan dana. Kepercayaan ini berasal dari adanya jaminan bahwa dana akan dimanfaatkan dengan benar dan gereja mempunyai kapasitas yang baik untuk melakukan kegiatan yang direncanakan. Lembaga yang seperti ini sering ditawari dana oleh lembaga donor.
Penutup
Pembangunan kapasitas gereja saat ini menjadi suatu yang mau tak mau harus dipikirkan dan dilakukan dengan serius. Gereja tidak lagi dapat melayani dunia ini seadanya saja. Seandainya gereja adalah restoran, maka kini bukan saatnya lagi kita hanya menyajikan mie rebus dengan pelayanan yang seadanya, managemen keuangan yang kacau (bercampur dengan uang keluarga), dan buka kapan saja kita mau. Restoran seperti ini mungkin masih dikunjungi, karena namanya sudah dikenal, tapi sebetulnya kita mesti malu karena sudah tidak layak lagi dikatakan sebagai restoran. Mungkin kita di negeri ini masih belum percaya bahwa gereja dapat hilang; tapi di negara lain ini sudah terjadi, sehingga gedung gereja yang megah dan indah hanya menjadi objek wisata atau bahkan dijual. Gereja bukan restoran, tapi bukan tidak mungkin tutup.(selesai)