Akhirnya, kita bertemu lagi di tahun 2004 yang baru saja kita tapaki ini. Tahun yang lalu, mungkin hidup kita sarat dengan pengalaman baru yang menyenangkan dan penuh tantangan atau peristiwa duka yang hampir-hampir menenggelamkan asa. Mendapat rekan baru, anggota keluarga baru dan segala rencana yang terwujud ataupun tertunda dan beberapa kegagalan lainnya.
Nuansa khas sebuah perjalanan waktu yang ‘hanya’ 360 hari satu tahunnya dengan 24 jam seharinya, 60 menit perjamnya, dan 60 detik per menitnya. Ada yang datang dan pergi silih berganti. Tidak mengenal batas usia, jenis kelamin dan pangkat, waktu menggilas semua yang ada. “Ah, besok kan masih ada,” demikian mungkin puluhan bahkan ratusan kali kalimat ini terucap dari mulut kita untuk membenarkan penundaan yang kita lakukan atas pekerjaan atau tanggung jawab kita.
“ Seandainya dulu ....,” sebuah penyesalan yang biasa meluncur begitu saja ketika menyadari bahwa masa lalu sesungguhnya teramat berjasa untuk masa sekarang. Penyesalan ini tiada berarti, sebab waktu tidak mungkin mengingkari kepastiannya untuk selalu bergerak maju.
Namun, begitu jam menunjuk angka 12 tiap 31 Desember, dari situ segala rencana, harapan dan doa kita susun dengan amat rapi dan diutarakan kepada Sang Penguasa Waktu itu sendiri dengan harapan kita dapat memenuhinya.
Demikian halnya kami di sini, memasuki tahun baru 2004, P3H memutar ulang apa saja rencana yang sudah tercapai di tahun 2003 dan pekerjaan rumah apa saja yang harus kami selesaikan karena sempat tertunda. Kerjasama dengan mitra-mitra yang selama ini sudah terjalin dengan baik, diharapkan dapat ditingkatkan. Program kerja yang tertunda (atau sengaja ditunda karena susuatu hal) semoga dapat diwujudkan dengan belajar dari pengalaman di tahun sebelumnya. Lebih dari itu, P3H sebagai forum berkumpulnya 6 sinode dari berbagai wilayah di Indonesia diharapkan mampu menunjukkan rasa saling menopang supaya forum ini tidak hanya bersuara pada saat ada event atau pertemuan bersama, namun masing-masing anggota dapat menunjukkan keikutsertaannya secara aktif dalam forum ini.
Khusus untuk peredaran buletin Holistik ini, kelihatannya pada tahun ini perlu diatur ulang. Dari pengalaman tahun lalu ada holistik yang tertahan di beberapa kantor sinode. Yang agak aneh adalah ada kantor pos yang mengirimkan Holistik ke Kantor Sinode, walaupun di alamat yang dituju jelas-jelas alamatnya berbeda. Bagi pembaca yang ingin agar dikirimi langsung ke rumah atau kantor silakan memberitahukannya pada kami. Ini sebuah keinginan sederhana tapi perlu kerja sama di antara kita. Selain itu kami juga masih punya mimpi besar yakni bersama gereja mampu melakukan pelayanan yang holistik bagi seluruh ciptaan, kiranya Tuhan menolong kita semua untuk mewujudkannya. Akhirnya, redaksi Holistik mengucapkan selamat membaca Holistik pertama di tahun 2004! (*)
1. Capacity Building Bagi 12 Sinode di Sulutteng
Pada tanggal 26 September hingga 2 Oktober 2003, Pak Iskandar menjadi fasilitator begi 12 sinode di Sulawesi Utara dan Tengah. Kegiatan ini berupa pelatihan pengembangan kapasitas lembaga, khususnya dalam menentukan prioritas, program kerja tahun 2004 dan penulisan proposal. Peserta dalam kegiatan ini adalah para Ketua, Sekretaris dan Bendahara sinode. Kegiatan terselenggara atas kerjasama antara Kerkinactie of Uniting Protestant Churches of Netherlands (UPCN) dan Sinode AmGereja-gereja Sulawesi Utara dan Tengah.

Setelah melalui proses pengerjaan selama bulan Juni hingga Agustus 2003, akhirnya irigasi di Pa’lambasan dan bendungan di Rantedambu, Mamasa, Sulawesi Selatan, selesai perenovasiannya pada bulan September 2003 atas kerjasama Yayasan Tallu Bullina dan P3H/CRWRC. Meskipun sempat mengalami penundaan dalam proses pengerjaannya karena kendala cuaca yang tidak menentu, kedua sarana irigasi itu kini siap dimanfaatkan khususnya oleh para pemilik sawah.
Kondisi kedua bendungan itu sebelumnya memprihatinkan, karena selama hampir 2 tahun tidak dapat difungsikan dengan baik akibat bencana banjir. Bahkan penduduk di dua desa yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh tani itu tidak bisa menamam padi selama satu tahun, sehingga praktis tidak ada panen pada masa itu. Kini dengan adanya bendungan yang menggunakan bahan beton itu, diharapkan lahan tidur seluas 300 ha kembali produktif dan taraf hidup para petani dapat ditingkatkan.
Acara berlangsung lancar dan partisipatif karena fasilitator hanya berfungsi menjembatani proses curah pendapat, sedangkan ide dan usulan berasal dari peserta sendiri. Sekalipun waktunya dirasa cukup pendek, yang menarik dari lokakarya selama 3 hari ini adalah hadirnya para pendeta yang selama ini melayani di wilayah pedalaman. Untuk sampai ke lokasi lokakarya yakni di gereja Musafir, Polewali, mereka harus menyusuri sungai selama hampir satu hari perjalanan menggunakan perahu. Akhir dari lokakarya ini menghasilkan proposal program dari masing-masing komisi sebagai upaya menwujudkan strategi untuk mencapai visi dan misi GTM. Nantinya proposal-proposal tersebut akan disempurnakan untuk selanjutnya dikirimkan kepada donor.
Dalam rangka mengatasi trauma pasca konflik yang melanda Poso, sekitar 21 orang ibu-ibu dari Komisi Wanita Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (KWS GKST) mengadakan acara perkunjungan ke Salatiga. Selama 3 hari, terhitung sejak 14 hingga 17 November 2003, mereka melakukan serangkaian kegiatan penyegaran di wisma LP3K Sinode GKJ-GKI. Pada hari pertama dan kedua, peserta mengikuti 3 sesi dengan tema “Berdamai Dengan Tuhan” , “Berdamai Dengan Orang Lain” dan “Berdamai Dengan Diri Sendiri” masing-masing dibawakan oleh Pdt. Phan Bien Ton dan Dra. Liana Pudjiastuti. Dalam sesi tersebut, peserta diajak untuk berefleksi sekaligus mengungkapkan luka-luka batinnya baik dalam hubungannya dengan Tuhan, orang lain maupun diri sendiri.
Layaknya sebuah keluarga, ibu-ibu GKST merasa terharu dan bahagia mengetahui keberadaan saudara seiman yang bersedia membuka pintu bagi persinggahan mereka, memberikan kekuatan dan doa bagi mereka. Simbol persaudaraan itu diwujudkan dalam sebuah perjamuan kasih di salah satu gereja, dimana semua yang hadir menikmati sepotong kecil jadah dan meminum wedang jahe dari tuwung yang diedarkan, sebagai lambang bahwa hanya Kristus yang mampu merekatkan dan menghangatkan ikatan persaudaraan tersebut. Di hari terakhir sebelum bertolak kembali ke Poso, ibu-ibu menyempatkan diri mengunjungi Candi Borobudur, Malioboro dan Candi Prambanan.

Tanggal 8-10 Desember 2003 lalu, bertempat di Kampoeng Percik, Desk tersebut diluncurkan bersamaan dengan adanya semiloka “Pembangunan Kehidupan Bergereja”. Hadir dalam kesempatan tersebut, para pengurus P3H, utusan gereja-gereja pendiri P3H dan beberapa orang peninjau dari lembaga seperti Biro Wanita PGI, FMKI, UKI, dll. Sebagai pembicara, adalah Pdt. AA. Yewangoe dari PGI, Pradjarta Dirdjosanjata dan Bp. Budi Lazarusli, keduanya dari Percik. Seminar hari pertama, ketiga pembicara mengangat isu-isu sosial politik yang menjadi tantangan aktual bagi gereja-gereja di Indonesia, kinerja gereja dalam bidang politik dan peluang-peluang gereja dalam mewujudkan peran sospolnya. Kemudian dilanjutkan dengan sharing pengalaman gereja-gereja mengenai isu politik di tingkat lokal dan nasional serta peluncuran desk PKB berikut pembahasan rumusan visi dan misi, langkah strategis dan program kerja.
Selama berlangsungnya acara tersebut antusiasme peserta ditunjukkan melalui ramainya curah pendapat seputar kehidupan gereja dalam konstelasi politik. Yang menarik, tidak satupun peserta yang tidak angkat bicara dan membagikan pengalamannya sehubungan dengan adanya beberapa perubahan sosial politik yang sering dianggap sebagai ‘ancaman’ bagi gereja.
Sejak 1 Desember 2003 lalu, kota Jambi dan Kabupaten lain disekitanya dilanda banjir. Ribuan warga masyarakat harus meninggalkan rumah untuk mengungsi ke dataran yang lebih tinggi. Ribuan rumah, gedung sekolah dan beberapa pasar terendam air. Jalan darat terputus sehingga membuat kota Jambi nyaris menjadi kota yang terisolasi. Menurut Gubernur Jambi, banjir kali ini merupakan banjir siklus 50 tahunan, artinya banjir serupa telah terjadi 45-50 tahun yang lalu. Dapat dipastikan bahwa banjir ini terjadi akibat pembabatan hutan yang luar biasa di daerah hulu.
Tidak dapat dihindari, banjir ini mengakibatkan perekonomian Jambi lumpuh karena pasar induk terendam dan tidak ada aktivitas, perusahaan-perusahaan yang paling banyak menyerap tenaga kerja berhenti total sehingga puluhan ribu orang menganggur. Melihat kondisi tersebut, Tim Peduli Bencana GKSBS Jambi yang dibentuk oleh Majelis Jemaat GKSBS Jambi bersama dengan Majelis Pekerja Sinode GKSBS melakukan upaya penanggulangan dengan memberikan bantuan berupa bahan makanan, minyak tanah dan obat-obatan. Dalam pelaksanaannya, Tim Peduli ini berkejasama dengan Yayasan SANAK yakni sebuah yayasan sosial bergerak di bidang pendampingan masyarakat. Yayasan SANAK didirikan oleh para pendeta, pastur, pengacara dan aktivis buruh (Muslim) dan mahasiswa IAIN Sultan Thaha. Direncanakan kegiatan tersebut akan dilakukan pada tanggal 29 Desember 2003 – 29 Januari 2004.
Jumat pagi 14 November 2003, rombongan ibu-ibu dari Komisi Wanita Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (KWS GKST) tiba di Salatiga. Setelah dua hari menghabiskan perjalanan dari tempat asal di Sulawesi Tengah, mereka bertekad sampai di tanah Jawa untuk sebuah harapan akan jernihnya pikiran, hati dan perasaan demi menjadikan diri mereka duta bagi perdamaian di Poso.
Seperti kita ketahui, konflik di manapun terjadi, selalu meninggalkan luka bagi siapa saja yang baik secara langsung maupun tidak terkena akibatnya. Khusunya para ibu dan anak-anak. Mereka adalah korban yang tidak pernah absen untuk merasakan kepedihan mendalam selama dan setelah konflik berlangsung. Bagaimana tidak, ketika konflik pecah, sang ibu adalah satu-satunya orang yang masih bisa berpikir tentang dapur dan anak-anak atau keluarganya, sambil menyelamatkan diri sekaligus. Karena bagi sang ibu, apapun yang terjadi ia harus tetap berusaha membuat anggota keluarganya tetap bertahan hidup, baik secara jasmani maupun rohani. Sang ibulah yang sekalipun konflik menyisakan dendam, sebisa mungkin memberi petuah bijak bagi anak-anaknya untuk senantiasa menerima dan memaafkan. Pasca konflik, kerinduan pada sebuah pemulihan tentu menjadi harapan para ibu.
Untuk itulah, 21 ibu-ibu dari Sinode GKST melakukan kunjungan ke Salatiga dalam rangka penyegaran dan trauma healing atau penyembuhan luka-luka batin. Mereka sebagian besar adalah para pendeta dan pemimpin jemaat di tingkat klasis dan sinode.
Hujan di Jumat sore 15 November 2003 itu mengguyur Salatiga, namun tawa dan canda para ibu tetap mewarnai suasana perkenalan mereka dengan wakil dari CRWRC yang kala itu diwakili oleh Pak Iskandar Saher dan tim kerja yang mengorganisasi acara mereka selama di Salatiga yang diketuai oleh Leo Meranga. Dari perkenalan mereka, sebagian besar para ibu ini bermukim di wilayah yang secara langsung mengalami peristiwa konflik, seperti di Poso Kota, Pamona Selatan dan Mori Atas. Sedangkan ibu-ibu dari Wotu, Mangkutana, Pamona Timur dan Parigi Timur tidak secara langsung mengalami konflik ini. Pada saat di Salatiga ini, mereka juga mendengar kabar bahwa akan ada serangan kembali di tempat tinggal mereka dalam satu dua hari itu. Hanya berharap pada Pencipta, itulah yang membuat mereka masih bisa senyum dan tertawa.
Sekalipun ibu-ibu ini adalah para pendeta dan pemimpin jemaat, namun ketika konflik pecah, peran mereka ganda. Selain memikirkan nasib anak-anak dan keluarganya sendiri, mereka harus menjadi ‘gembala’ yang bijak bagi jemaat yang juga tertimpa duka mendalam. Di satu sisi, mereka secara manusiawi sebenarnya juga merasa takut dan sedih, namun mengingat para jemaat membutuhkan kekuatan, maka untuk sementara waktu mereka harus mengesampingkan perasaan mereka sendiri untuk memberikan dukungan moral bahkan tenaga. Kini setelah konflik reda, peran itu tetap ada.
Oleh karena itu berkunjung ke Salatiga merupakan kesempatan yang tidak mungkin disia-siakan untuk menyegarkan kembali suasana batin. Dengan penuh semangat dan selalu tepat waktu, tiga materi utama mereka ikuti. Karena saking antusias dengan tema yang diangkat, para ibu ini pun bertekad memburu buku pegangan pembicara, dengan maksud agar mereka pun dapat melakukan kegiatan serupa di wilayah pelayanan masing-masing jika pulang kemudian.
Begitu pula ketika mengikuti acara perkunjungan ke gereja-gereja, mereka merasakan kehangatan persaudaraan yang luar biasa. Sampai-sampai salah satu kelompok ngaret ketika waktunya harus kembali ke penginapan untuk mengikuti acara berikutnya karena asyiknya mereka berbagi pengalaman, apalagi sambutan dari ibu-ibu di gereja setempat begitu mengesankan, ditambah suguhan khas yang sayang jika tidak dicicipi.
Tak jarang, suasana tiba-tiba penuh keharuan, manakala satu-dua orang membuka kembali pengalaman hidupnya, khususnya ketika terjadi kerusuhan. Tidak dapat dipungkuri bahwa peristiwa itu selain menyelipkan duka, juga menyisakan amarah khususnya di kalangan generasi muda. Maka, tak jemu-jemu para ibu ini memberikan petuah bijaknya seperti yang dinasehatkan Tuhan Yesus pada kita “Kasihilah musuhmu seperti dirimu sendiri.” Beberapa tangkai bunga berkalungkan belasan kertas berisi doa bagi masyarakat Poso menjadi cinderamata untuk dibawa pulang.
Melepas kerinduan dengan anak, keponakan atau family di Salatiga juga tidak mereka lewatkan. Sekalipun tampak gembira menikmati hari-hari di Salatiga, tidak dapat ditutupi kerinduan para ibu untuk segera pulang berjumpa keluarga dan jemaatnya. Bahkan untuk membeli beberapa dasi sebagai oleh-oleh bagi rekan majelis sepelayanan beberapa ibu-ibu getol tawar-menawar dengan seorang penjual dasi di penginapan.
Mereka berharap kegiatan seperti ini bisa menjadi program pembinaan, supaya suatu saat bisa dilakukan kembali bagi orang-orang yang berada di daerah konflik. Memang selama di Salatiga kegiatan penuh air mata dan tawa, tapi ada harap terpancar di kala kembali di ladang pelayanan.
“ Sekali-kali mainlah ke Poso. Jangan takut ya,” pesan seorang ibu pada salah seorang panitia yang asli Jawa. Semoga Pue (artinya Tuhan dalam bahasa Poso) mengembalikan Poso seperti sedia kala. Kami doakan. Selamat berjuang menjadi duta bagi perdamaian di Poso tercinta. (*)
Suatu ketika, di sebuah daerah terdapat sebuah jalan dengan tikungan maut yang sering mencelakakan orang. Kebetulan, di dekat tikungan maut itu ada sebuah gereja. Melihat banyaknya kecelakaan yang sering terjadi di tikungan ini, maka gereja ini berinisiatif menolong orang-orang yangmengalami kecelakaan lalu lintas. Gereja ini menjadi sangat terkenal karena suka membantu orang yang celaka di tikungan maut tersebut.
Suatu saat, gereja ini merasa perlu membeli mobil ambulans untuk meningkatkan pelayanan mereka menolong orang yang kecelakaan untuk segera dilarikan ke rumah sakit. Berkat dukungan doa dan dana dari jemaatnya maka mereka berhasil membeli sebuah ambulan. Dengan bantuan ambulan ini semakin banyak orang yang tertolong.
Namun, masalah utama banyaknya korban lalu lintas ini tikungan maut ini adalah adanya tikungan itu. Seandainya tikungan itu diluruskan, maka akar masalah akan teratasi, dan kemungkinan kecelakaan di situ akan teratasi. Seandainya tikungan maut sudah diluruskan, tak perlu membeli ambulan dan dana merawat orang kecelakaan.
Dari survey sederhana diketahui tikungan ini bisa diluruskan, dan kebetulan tanah yang akan dipakai untuk meluruskannya adalah tanah kosong. Tapi masalah kemudian muncul karena ternyata tanah yang akan digusur untuk pelurusan jalan ini adalah milik pejabat tinggi. Masalahnya adalah tak ada yang berani berbicara dengan si pejabat untuk meminta tanah kosongnya untuk menyelamatkan jiwa manusia. Akhirnya tikungan maut terus ada di sana, kecelakaan terus terjadi, ambulan masih diperlukan, dan mungkin perlu banyak uang lagi untuk membangun Ruma Sakit Korban lalu lintas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar